PERIODISASI
DAN PERKEMBANGAN HADITS
A. Latar Belakang
Sejarah
perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits
dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan
umat dari generasi ke generasi. Mengkaji sejarah perkembangan hadits sangat
penting sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang ilmu hadits. Mempelajari
sejarah hadits sangat diperlukan yaitu dengan cara memeriksa periode-periode
yang telah dilalui oleh hadits (sejarah perkembangannya). Akan tetapi dewasa
ini banyak sekali yang tidak mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan
hadits. Tentunya suatu hal yang tidak sewajarnya apabila umat Islam itu
sendiri tidak mengetahuinya.
Oleh sebab itu
di dalam makalah ini akan kita bahas tentang periodisasi dan perkembangan
hadits. Makalah ini akan memaparkan tentang Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW,Masa Sahabat
Besar, Masa Sahabat Kecil, Pada Abad II Hijriyah, Pada Awal Sampai Akhir Abad
III Hijriyah, Pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah, Pada
Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang
PEMBAHASAN
A. Hadits Pada
Masa Nabi Muhammad SAW.
Hadits pada
masa Nabi Muhammad ini disebut dengan ‘Ashr al-Wahyi wa al-Taqwīn’ (masa
turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode ini hadits lahir
berupa sabda (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan (taqrīr)
Nabi yang berfungsi menerangkan al-Qur’ān untuk menegakkan syariat Islam dan
membentuk masyarakat Islam.
Periode ini
berlangsung selama 23 tahun. Pada masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu
sekaligus diwurudkannya hadits. Keadaan seperti ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran
Islam. Oleh karenanya segala apa yang dilihat ataupun disaksikan oleh para
sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Beliau merupakan
landasan bagi amaliyah sehari-hari mereka yang wajib untuk diikuti dan ditaati.
Mereka merasa yakin bahwa Beliau merupakan figur pemimpin yang mampu mengayomi
semua kalangan masyarakat, baik dari golongan masyarakat tingkat yang paling
bawah sampai masyarakat tingkat atas.
Pada periode
ini, Nabi memerintahkan kepada para sahabat lebih khusus kepada sekretarisnya
untuk menulis al-Qur’ān setiap wahyu turun kepadanya. Pada kesempatan yang sama
ini Beliau juga melarang untuk menuliskan sesuatu selain al-Qur’ān.
Maka segala
hadits yang diterima oleh para sahabat yang datangnya dari Rasulullah
diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan
ancaman Beliau untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Larangan
penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindari adanya kemungkinan sebagian
sahabat penulis wahyu memasukkan al-Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan
al-Qur’ān, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah tersebut adalah
wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzīl
(turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis
adalah wahyu semuanya, hingga bercampur
aduk antara al-Qur’ān dengan al-Hadits.
Ketika
Rasulullah wafat, al-Qur’ān
telah dihafal dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci
al-Qur’ān seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam
bentuk sebuah mushaf. Sedangkan penulisan hadits ketika itu kurang memperoleh
perhatian dari Rasulullah seperti halnya al-Qur’ān. Namun, penulisan hadits
pada saat itu dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena
penulisan hadits tersebut tidak diperintahkan langsung oleh Rasulullah seperti
halnya dalam penulisan al-Qur’ān.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat untuk menulis
hadits secara tidak resmi. Mereka memahami bahwasanya larangan Rasulullah
menulis hadits adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan
mencampuradukan hadits dengan al-Qur’ān. Sedangkan izin Beliau hanya diberikan
kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadits dengan al-Qur’ān
dan diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan
mereka yang tidak kuat ingatan atau hafalannya.
Diantara para
sahabat yang mencatat hadits Rasulullah dalam shahifah-shahifahnya adalah:
Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abdullah bin Abi Awfa,
Samurah bin Jundub, Ali bin Abi Thalib.
B. Hadits Pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafā' al-Rāsyidūn)
Pada masa
sahabat ini disebut dengan periode Ashr-At-Tatsabbūt wa Al-Iqlāl min
Al-Riwāyah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad SAW.
wafat pedoman hidup mereka yaitu al-Qur’ān dan hadits (As-sunnah) yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Seperti sabdanya yang berbunyi:
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْامَاتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَاكِتَابَ اللهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مالك)
"saya
tinggalkan untuk kalian dua perkara, niscaya kalian tidak akan tersesat selama
kalian berpegang teguh dengan keduanya: kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. (HR.
Al-Hakim)
Pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus
kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’ān, sehingga periwayatan hadits belum
begitu berkembang dan kelihatannya mereka masih berusaha membatasinya
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat,
disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka
sadari bahwa hadits merupakan sumber tasyri' setelah al-Qur’ān, yang harus
terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’ān. Oleh karenanya para sahabat
khususnya khulafā' al-rāsyidūn (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dan sahabat lainnya,
seperti Al-Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan
dan penerimaan
hadits.
Pada masa
pemerintahan Abu Bakar, periwayatan
hadits dilakukan dengan sangat hati-hati. Beliau merupakan sahabat Nabi yang
pertama kali menunjukkan sikap kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits.
Peristiwa yang
terjadi disaat seorang nenek-nenek datang kepada Abu Bakar untuk
mempermasalahkan warisan dari harta yang ditinggalkan cucunya. Menanggapi hal
tersebut Abu Bakar berkomentar bahwa dia tidak pernah menemukan ketentuan
tersebut dalam al-Qur’ān, sementara dia juga tidak pernah mendengar hadits
Rasulullah tentang hal tersebut. Untuk mencari solusi dari masalah tersebut,
kemudian Abu Bakar mempertanyakan kepada para sahabat lainnya. Disaat itulah
tampil mughirah dengan mengatakan bahwa bagian seorang nenek atas warisan
cucunya adalah 1/6. Beliau kemudian mengajukan persyaratan adanya saksi yang
dapat mendukung kebenaran ucapan mughirah tersebut. Disaat itulah Muhammad ibn
Maslamah memberikan kesaksiannya. Berdasarkan ungkapan Mughirah yang dikuatkan
dengan kesaksian Maslamah itulah pada akhirnya Abu Bakar menerima riwayat
tersebut dan berkenan memberikan bagian 1/6 kepada seorang nenek tersebut.
Dapat dipahami
bahwa Abu Bakar dalam hal ini tidak semerta-merta dapat menerima begitu saja
riwayat suatu hadits sebelum meneliti terlebih dahulu periwayatannya. Untuk
membuktikan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah SAW,
beliau meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi. Tindakan hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar
juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathtab. Dalam hal ini beliau juga terkenal
sebagai orang yang sangat berhati-hati didalam
meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila
tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.
Kasus yang
dihadapi Umar ibn Khathab, ketika suatu hari Abu Musa al-Asy'ari datang ke
rumahnya. Namun Abu Musa kemudian kembali karena setelah mengetuk pintu dan
mengucapkan salam tiga kali tidak ada sahutan. Melihat sikap yang demikian
akhirnya Umar memanggil Abu Musa dan menanyakan mengapa bersikap demikian.
Mendengar keterangan tersebut Umar tidak langsung mempercayainya, namun beliau
meminta Abu Musa untuk mendatangkan seorang saksi yang membenarkan ucapannya
itu.
Dari hadits di
atas dapat dipahami bahwa Umar bin Khaththab berusaha untuk bersikap hati-hati
di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Riwayat tersebut memberikan gambaran bahwa
Umar bin Khaththab mau menerima riwayat hadits Abu Musa setelah ada saksi dari
sahabat yang lain, yaitu Ubay bin Ka'ab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad
memang pernah menyatakan atau mengatakan seperti yang dikatakan oleh Abu Musa
al-Asy'ary.
Pada masa
Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib periwayatan hadits juga dilakukan
dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya, yakni mereka tetap
berhati-hati di dalam meriwayatkan hadits. Hanya saja usaha yang dilakukan oleh
Utsman itu tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab. Sedangkan
pada masa Ali bin Abi Thalib, beliau bersedia menerima suatu riwayat apabila
periwayat hadis tersebut mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya
itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya saja kepada orang-orang yang
benar-benar dipercayainya dia tidak memintanya untuk bersumpah. Dengan
demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits Ali tidaklah sebagai syarat
mutlak keabsahan periwayatan hadits.
Dalam
praktiknya, ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari
Rasulullah SAW. yaitu: pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya
persis seperti yang disampaikan Rasulullah). Kedua dengan jalan periwayatan maknawi
(maknanya saja).
C. Hadits Pada
Masa Sahabat Kecil
Periode ini disebut
dengan ‘Ashr Intisyār al-Riwāyah ilā al-Amshār (masa berkembang dan
meluasnya periwayatan hadits). Pada dasarnya periwayatan pada periode ini tidak
jauh berbeda dengan periwayatan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja
pada persoalan yang dihadapi mereka yang agak berbeda dengan persoalan yang
dihadapi oleh para sahabat. Pada periode ini al-Qur’ān sudah dikumpulkan dalam
satu mushaf, sehingga mereka sudah tidak lagi mengkhawatirkannya.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam
sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol,
disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya
perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah
tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya
periwayatan hadits (istisydār al-Riwāyah ilā al-Amsār).
D. Hadits Pada
Masa Abad II Hijriyah
Pada periode
ini disebut Ashr Al-Kitābah wa Al-Tadwīn (masa penulisan dan
kodifikasi). Maksud dari kodifikasi pada periode ini adalah kodifikasi secara
resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa personil
yang ahli dibidangnya.
Kodifikasi
hadits secara resmi ini baru terjadi dipenghujung abad satu hijrah, dan usaha
ini dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh khalifah Umar ibn
Abdul Aziz (99-101 H), (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayah),
karena kekhawatiran Beliau akan lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah setelah
wafatnya para ulama' baik dikalangan sahabat maupun tabiin. Maka kepada Abu
Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm (gubernur Madinah), ia mengirim instruksi
yang berbunyi:
"Perhatikan
atau periksalah hadits-hadits Rasulullah SAW. kemudian tuliskanlah! Aku
khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalkan para ulama (para ahlinya). Dan
janganlah kamu terima kecuali hadits Rasulullah SAW".
Abu Bakar Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri adalah
ulama' yang pertama kali berhasil menghimpun hadits dalam satu kitab sebelum
khalifah meninggal dunia. Beliau ini adalah
seorang ulama besar di negeri Syam dan Hijaz. Akan tetapi karya beliau ini
tidak sampai kepada generasi kita sekarang.
Diantara kitab
hadits pada abad II H yang dapat sampai di tengah-tengah kita adalah:
1. Al-Muwaththā’, disusun oleh Imam Malik bin
Anas pada tahun 144 atas anjuran khalifah Abu Ja'far al-Manshur. Jumlah hadits
yang terdapat dalam kitab ini kurang lebih 170 buah.
2. Musnādu'sy-syafī'īy, disusun oleh
Imam Asy-Syafi'iy yang mencantumkan seluruh hadits tersebut dalam kitab beliau
yang bernama Al-Umm.
3. Mukhtalifu'l-Hadīts, disusun oleh
Imam Syafi'iy.di dalam kitabnya beliau menjelaskan tentang cara-cara menerima
hadits sebagai hujjah, dan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang
tampaknya kontradiksi satu sama lain.
Ulama' lain
sebagai penghimpun hadits pada masa ini antara lain: Ibnu Juraij (80-150 H) di
Mekah, Ibnu Ishaq (151 H) di Madinah, Ibn Abi Zi'bin (80-158 H) di Madinah, Al-Rabi'
ibn Shabih (160 H) di Basrah, Hammad ibn Salamah (176 H) di Basrah, Sufyan
Al-Tsauri (161 H) di Kufah, Al Auza'y (156 H) di Syam, Husaim al-Wasithi
(104-188 H) di Wasith, Ma'mar al-Azdy (95-153 H) di Yaman, Jabir al-Dlahabi
(110-188 H) di Rei, Ibnu Mubarak (118-181 H) di Khurasan dan Al-Laits ibn Sa'ad
(175 H) di Mesir.
Ciri-ciri
pembukuan hadits pada periode ini yaitu hadits yang dibukukan dalam kitab
mencakup hadits Nabi, fatwa sahabat dan tabiin. Dengan demikian dalam periode
ini masih belum ada pemisahan antara hadits marfu', hadits mauquf, dan hadits
maqthu'. Dan dalam hadits ini juga belum dipisah antara hadits shahih, hasan
dan dha'if.
E. Hadits Pada Masa Awal Sampai Akhir Abad III Hijriyah
Pada periode
ini disebut (masa penerimaan, mentashihan dan penyempurnaan). Periode ini
merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Masa penyeleksian atau penyaringan
hadits terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, sejak masa
Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Munculnya periode ini karena pada tadwin sebelumnya
belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan mathu' dari hadits marfu',
dan belum bisa meminsahkan
beberapa hadits yang dha'if dari yang shahih. Bahkan masih ada hadits yang
maudhu' tercampur pada yang shahih.
Para ulama pada
masa ini bersungguh-sungguh dalam mengadakan penyaringan hadits yang
diterimanya. Mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dha'if (lemah) dari
yang shahih dan hadits-hadits yang mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabat)
dan yang maqthu' (terputus) dari yang marfu' (sanadnya sampai Nabi SAW),
meskipun meskipun sebenarnya penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya
hadits yang dha'if pada kitab-kitab shahih karya mereka.
Ulama' hadits
yang mula-mula menyaring dan membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang
palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang ulama' hadits yang
sangat termasyhur. Kemudian pekerjaan ini diselenggarakan dengan sempurna oleh
Al-Imam Al-Bukhari. Ia menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-fāmius
Shahīh. Dalam kitabnya ia hanya membukukan hadits-hadits yang dianggapnya
shahih. Usaha Al-Bukhari ini kemudian diikuti oleh muridnya yang sangat alim,
yaitu Imam Muslim.
Kitab-kitab
hadits yang tersusun pada masa ini antara lain:
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Sunan Abu Daud
4. Sunan Al-Turmudzi
5. Sunan Al-Nasa'i
6. Sunan Ibnu Maja
7. Sunan al-Daramy
8. Al-Muntaqa
9. Musnad Ahmad
10. Al-Muwaththa Malik
F. Hadits Pada Masa Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah
Periode ini
disebut dengan (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan).
Periode ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa Abasiyyah
angkatan kedua. Ulama-ulama
hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 disebut Mutaqaddimīn, yang
mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri. Sedangkan setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga
abad keempat dan seterusnya yang disebut dengan 'Mutaakhirīn'.
Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari
kitab-kitab Mutaqaddimīn, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha
mencari sendiri kepada para penghafalnya.
Diantara
kitab-kitab yang tersusun pada periode ini antara lain: Ash-Shahīh
susunan Ibnu Khuzaimah, At-Taqsīm wa Anwā' susunan Ibnu Hibban, Al-Mustadrāk
susunan Al-Hakim, Ash-Shalīh susunan Abu Awanah, Al-Muntaqā
susunan Ibnu Jarud, dan Al-Mukhtarāh susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid
Al-Maqdisy.
Usaha-usaha
ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah:
1. Mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab.
2. Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam.
3. Mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab.
4. Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab athrāf.
Pada periode
ini muncul usaha-usaha istikhrāj, yakni umpamanya mengambil suatu hadits
dari Al-Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang
lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim. Dan pada periode ini pula muncul
usaha-usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki
syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak
diriwayatkan atau dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim.
G. Hadits Pada
Masa Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang
Periode ini
disebut dengan (masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan).
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII
Al-Mu'tasim (w. 656 H) sampai sekarang.
Dalam periode
ini usaha yang dilakukan oleh ulama adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits,
menyaringnya, dan menyusun kitab enam,kitab tahrij, serta membuat
kitab-kitab jami' yang umum.
Pada periode
ini juga disusun kitab-kitab Zawa'id, yaitu kitab hadits yang disusun
dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama hadits tertentu.
Diantaranya kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan
Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang
lain.
Masa
perkembangan hadits ini terbentang cukup panjang, mulai dari abad keempat
Hijriyah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer.
Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan
Islam, yaitu fase pertengahan dan fase modern.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertumbuhan dan
perkembangan hadits pada masa Nabi Muhammad SAW berlangsung selama 23 tahun.
Pada masa ini Nabi Muhammad SAW. melarang penulisan hadits dikarenakan
untuk menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan
Al-Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’ān.
Hadits pada
masa sahabat mereka masih terfokuskan kepada pemeliharaan dan penyebaran
al-Qur’ān, sehingga periwayatan hadits belum begitu berkembang dan mereka masih
berusaha membatasinya disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan.
Hadits pada
masa sahabat kecil periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan pada masa
sahabat, hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda. Pada masa ini
al-Qur’ān sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga mereka sudah tidak lagi
menghawatirkannya.
Hadits pada masa periode abad II Hijriyah terjadi penghimpunan hadits yang
dipimpin oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Akan tetapi dalam periode ini masih
belum ada pemisahan antara hadits marfu', hadits mauquf, dan hadits maqthu' dan
juga belum dipisah antara hadits shahih, hasan dan dha'if.
Hadits pada
masa periode awal-akhir abad III Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan
hadits. Munculnya periode ini karena pada tadwin sebelumnya belum berhasil
memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqthu' dari hadits marfu', dan belum
bisa memisahkan beberapa hadits yang dha'if dari yang shahih.
Hadits pada
masa periode abad IV-pertengahan abad VII merupakan masa pemeliharaan,
penertiban, penambahan dan penghimpunan hadits. Dan yang terakhir pada masa
pertengahan abad VII- sekarang merupakan masa pensyarahan, penghimpunan,
pentakhrijan dan pembahasan hadits.
Daftar Pustaka
v Prof. Dr. muh. Zuhri, hadistnabitelaahhistoris&metodologis,Yogyakarta,tiarawacana
yogya,2011
In this fashion my colleague Wesley Virgin's report begins in this SHOCKING AND CONTROVERSIAL video.
BalasHapusYou see, Wesley was in the army-and shortly after leaving-he unveiled hidden, "MIND CONTROL" tactics that the government and others used to obtain everything they want.
As it turns out, these are the EXACT same tactics tons of famous people (especially those who "became famous out of nothing") and elite business people used to become rich and famous.
You probably know how you utilize only 10% of your brain.
That's because the majority of your brainpower is UNCONSCIOUS.
Perhaps that expression has even occurred IN YOUR very own head... as it did in my good friend Wesley Virgin's head 7 years ago, while riding an unregistered, beat-up trash bucket of a vehicle without a driver's license and in his bank account.
"I'm absolutely frustrated with going through life check to check! When will I become successful?"
You've taken part in those types of questions, ain't it so?
Your own success story is going to be written. All you have to do is in YOURSELF.
CLICK HERE TO LEARN WESLEY'S METHOD