MAKALAH TENTANG PERIODISASI DAN PERKEMBANGAN HADITS

PERIODISASI DAN PERKEMBANGAN HADITS

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Mengkaji sejarah perkembangan hadits sangat penting sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang ilmu hadits. Mempelajari sejarah hadits sangat diperlukan yaitu dengan cara memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh hadits (sejarah perkembangannya). Akan tetapi dewasa ini banyak sekali yang tidak mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Tentunya suatu hal yang tidak sewajarnya  apabila umat Islam itu sendiri tidak mengetahuinya.
Oleh sebab itu di dalam makalah ini  akan kita bahas tentang periodisasi dan perkembangan hadits. Makalah ini akan memaparkan tentang Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW,Masa Sahabat Besar, Masa Sahabat Kecil, Pada Abad II Hijriyah, Pada Awal Sampai Akhir Abad III Hijriyah, Pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah, Pada Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang


PEMBAHASAN

     A.      Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Hadits pada masa Nabi Muhammad ini disebut dengan ‘Ashr al-Wahyi wa al-Taqwīn’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode ini hadits lahir berupa sabda (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan (taqrīr) Nabi yang berfungsi menerangkan al-Qur’ān untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Periode ini berlangsung selama 23 tahun. Pada masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya hadits. Keadaan seperti ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Oleh karenanya segala apa yang dilihat ataupun disaksikan oleh para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Beliau merupakan landasan bagi amaliyah sehari-hari mereka yang wajib untuk diikuti dan ditaati. Mereka merasa yakin bahwa Beliau merupakan figur pemimpin yang mampu mengayomi semua kalangan masyarakat, baik dari golongan masyarakat tingkat yang paling bawah sampai masyarakat tingkat atas.
Pada periode ini, Nabi memerintahkan kepada para sahabat lebih khusus kepada sekretarisnya untuk menulis al-Qur’ān setiap wahyu turun kepadanya. Pada kesempatan yang sama ini Beliau juga melarang untuk menuliskan sesuatu selain al-Qur’ān.
Maka segala hadits yang diterima oleh para sahabat yang datangnya dari Rasulullah diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Beliau untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan al-Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’ān, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah tersebut adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzīl (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara al-Qur’ān dengan al-Hadits. 
Ketika Rasulullah wafat, al-Qur’ān telah dihafal dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci al-Qur’ān seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Sedangkan penulisan hadits ketika itu kurang memperoleh perhatian dari Rasulullah seperti halnya al-Qur’ān. Namun, penulisan hadits pada saat itu dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena penulisan hadits tersebut tidak diperintahkan langsung oleh Rasulullah seperti halnya dalam penulisan al-Qur’ān.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat untuk menulis hadits secara tidak resmi. Mereka memahami bahwasanya larangan Rasulullah menulis hadits adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampuradukan hadits dengan al-Qur’ān. Sedangkan izin Beliau hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadits dengan al-Qur’ān dan diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan atau hafalannya.
Diantara para sahabat yang mencatat hadits Rasulullah dalam shahifah-shahifahnya adalah: Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abdullah bin Abi Awfa, Samurah bin Jundub, Ali bin Abi Thalib.

    B.       Hadits Pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafā' al-Rāsyidūn)
Pada masa sahabat ini disebut dengan periode Ashr-At-Tatsabbūt wa Al-Iqlāl min Al-Riwāyah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad SAW. wafat pedoman hidup mereka yaitu al-Qur’ān dan hadits (As-sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Seperti sabdanya yang berbunyi:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْامَاتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَاكِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مالك)
"saya tinggalkan untuk kalian dua perkara, niscaya kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. (HR. Al-Hakim)
Pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’ān, sehingga periwayatan hadits belum begitu berkembang dan kelihatannya mereka masih berusaha membatasinya
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadits merupakan sumber tasyri' setelah al-Qur’ān, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’ān. Oleh karenanya para sahabat khususnya khulafā' al-rāsyidūn (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.                                                                                    
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat hati-hati. Beliau merupakan sahabat Nabi yang pertama kali menunjukkan sikap kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits.
Peristiwa yang terjadi disaat seorang nenek-nenek datang kepada Abu Bakar untuk mempermasalahkan warisan dari harta yang ditinggalkan cucunya. Menanggapi hal tersebut Abu Bakar berkomentar bahwa dia tidak pernah menemukan ketentuan tersebut dalam al-Qur’ān, sementara dia juga tidak pernah mendengar hadits Rasulullah tentang hal tersebut. Untuk mencari solusi dari masalah tersebut, kemudian Abu Bakar mempertanyakan kepada para sahabat lainnya. Disaat itulah tampil mughirah dengan mengatakan bahwa bagian seorang nenek atas warisan cucunya adalah 1/6. Beliau kemudian mengajukan persyaratan adanya saksi yang dapat mendukung kebenaran ucapan mughirah tersebut. Disaat itulah Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksiannya. Berdasarkan ungkapan Mughirah yang dikuatkan dengan kesaksian Maslamah itulah pada akhirnya Abu Bakar menerima riwayat tersebut dan berkenan memberikan bagian 1/6 kepada seorang nenek tersebut.
Dapat dipahami bahwa Abu Bakar dalam hal ini tidak semerta-merta dapat menerima begitu saja riwayat suatu hadits sebelum meneliti terlebih dahulu periwayatannya. Untuk membuktikan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah SAW, beliau meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi. Tindakan hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathtab. Dalam hal ini beliau juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati didalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.
Kasus yang dihadapi Umar ibn Khathab, ketika suatu hari Abu Musa al-Asy'ari datang ke rumahnya. Namun Abu Musa kemudian kembali karena setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam tiga kali tidak ada sahutan. Melihat sikap yang demikian akhirnya Umar memanggil Abu Musa dan menanyakan mengapa bersikap demikian. Mendengar keterangan tersebut Umar tidak langsung mempercayainya, namun beliau meminta Abu Musa untuk mendatangkan seorang saksi yang membenarkan ucapannya itu.
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Umar bin Khaththab berusaha untuk bersikap hati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Riwayat tersebut memberikan gambaran bahwa Umar bin Khaththab mau menerima riwayat hadits Abu Musa setelah ada saksi dari sahabat yang lain, yaitu Ubay bin Ka'ab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad memang pernah menyatakan atau mengatakan seperti yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy'ary.
Pada masa Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib periwayatan hadits juga dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya, yakni mereka tetap berhati-hati di dalam meriwayatkan hadits. Hanya saja usaha yang dilakukan oleh Utsman itu tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab. Sedangkan pada masa Ali bin Abi Thalib, beliau bersedia menerima suatu riwayat apabila periwayat hadis tersebut mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya saja kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya dia tidak memintanya untuk bersumpah. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits.
Dalam praktiknya, ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. yaitu: pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasulullah). Kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
     C.      Hadits Pada Masa Sahabat Kecil
Periode ini disebut dengan ‘Ashr Intisyār al-Riwāyah ilā al-Amshār (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada dasarnya periwayatan pada periode ini tidak jauh berbeda dengan periwayatan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja pada persoalan yang dihadapi mereka yang agak berbeda dengan persoalan yang dihadapi oleh para sahabat. Pada periode ini al-Qur’ān sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga mereka sudah tidak lagi mengkhawatirkannya.  
Ketika pemerintah  dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (istisydār al-Riwāyah  ilā al-Amsār).

     D.      Hadits Pada Masa Abad II Hijriyah
Pada periode ini disebut Ashr Al-Kitābah wa Al-Tadwīn (masa penulisan dan kodifikasi). Maksud dari kodifikasi pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dibidangnya.
Kodifikasi hadits secara resmi ini baru terjadi dipenghujung abad satu hijrah, dan usaha ini dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H), (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayah), karena kekhawatiran Beliau akan lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah setelah wafatnya para ulama' baik dikalangan sahabat maupun tabiin. Maka kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm (gubernur Madinah), ia mengirim instruksi yang berbunyi:
"Perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasulullah SAW. kemudian tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalkan para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali hadits Rasulullah SAW".
Abu Bakar Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri adalah ulama' yang pertama kali berhasil menghimpun hadits dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia. Beliau ini adalah seorang ulama besar di negeri Syam dan Hijaz. Akan tetapi karya beliau ini tidak sampai kepada generasi kita sekarang.
Diantara kitab hadits pada abad II H yang dapat sampai di tengah-tengah kita adalah:
  1.    Al-Muwaththā’, disusun oleh Imam Malik bin Anas pada tahun 144 atas anjuran khalifah Abu Ja'far al-Manshur. Jumlah hadits yang terdapat dalam kitab ini kurang lebih 170 buah.
  2.    Musnādu'sy-syafī'īy, disusun oleh Imam Asy-Syafi'iy yang mencantumkan seluruh hadits tersebut dalam kitab beliau yang bernama Al-Umm.
  3.    Mukhtalifu'l-Hadīts, disusun oleh Imam Syafi'iy.di dalam kitabnya beliau menjelaskan tentang cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi satu sama lain.
Ulama' lain sebagai penghimpun hadits pada masa ini antara lain: Ibnu Juraij (80-150 H) di Mekah, Ibnu Ishaq (151 H) di Madinah, Ibn Abi Zi'bin (80-158 H) di Madinah, Al-Rabi' ibn Shabih (160 H) di Basrah, Hammad ibn Salamah (176 H) di Basrah, Sufyan Al-Tsauri (161 H) di Kufah, Al Auza'y (156 H) di Syam, Husaim al-Wasithi (104-188 H) di Wasith, Ma'mar al-Azdy (95-153 H) di Yaman, Jabir al-Dlahabi (110-188 H) di Rei, Ibnu Mubarak (118-181 H) di Khurasan dan Al-Laits ibn Sa'ad (175 H) di Mesir.
Ciri-ciri pembukuan hadits pada periode ini yaitu hadits yang dibukukan dalam kitab mencakup hadits Nabi, fatwa sahabat dan tabiin. Dengan demikian dalam periode ini masih belum ada pemisahan antara hadits marfu', hadits mauquf, dan hadits maqthu'. Dan dalam hadits ini juga belum dipisah antara hadits shahih, hasan dan dha'if.

      E.       Hadits Pada Masa Awal Sampai Akhir Abad III Hijriyah
Pada periode ini disebut (masa penerimaan, mentashihan dan penyempurnaan). Periode ini merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Masa penyeleksian atau penyaringan hadits terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Munculnya periode ini karena pada tadwin sebelumnya belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan mathu' dari hadits marfu', dan belum bisa meminsahkan beberapa hadits yang dha'if dari yang shahih. Bahkan masih ada hadits yang maudhu' tercampur pada yang shahih.
Para ulama pada masa ini bersungguh-sungguh dalam mengadakan penyaringan hadits yang diterimanya. Mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dha'if (lemah) dari yang shahih dan hadits-hadits yang mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabat) dan yang maqthu' (terputus) dari yang marfu' (sanadnya sampai Nabi SAW), meskipun meskipun sebenarnya penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadits yang dha'if pada kitab-kitab shahih karya mereka.
Ulama' hadits yang mula-mula menyaring dan membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang ulama' hadits yang sangat termasyhur. Kemudian pekerjaan ini diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Ia  menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-fāmius Shahīh. Dalam kitabnya ia hanya membukukan hadits-hadits yang dianggapnya shahih. Usaha Al-Bukhari ini kemudian diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Kitab-kitab hadits yang tersusun pada masa ini antara lain:
    1.    Shahih Bukhari
    2.    Shahih Muslim
    3.    Sunan Abu Daud
    4.    Sunan Al-Turmudzi
    5.    Sunan Al-Nasa'i
    6.    Sunan Ibnu Maja
    7.    Sunan al-Daramy
    8.    Al-Muntaqa
    9.    Musnad Ahmad
     10.    Al-Muwaththa Malik

    F.       Hadits Pada Masa Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah
Periode ini disebut dengan (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan). Periode ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa Abasiyyah angkatan kedua. Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 disebut Mutaqaddimīn, yang mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri. Sedangkan setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat dan seterusnya yang disebut dengan 'Mutaakhirīn'. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimīn, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya.
Diantara kitab-kitab yang tersusun pada periode ini antara lain: Ash-Shahīh susunan Ibnu Khuzaimah, At-Taqsīm wa Anwā' susunan Ibnu Hibban, Al-Mustadrāk susunan Al-Hakim, Ash-Shalīh susunan Abu Awanah, Al-Muntaqā susunan Ibnu Jarud, dan Al-Mukhtarāh susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.
Usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah:
  1.    Mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab.
  2.    Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam. 
  3.    Mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab.
  4.    Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab athrāf.
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhrāj, yakni umpamanya mengambil suatu hadits dari Al-Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim. Dan pada periode ini pula muncul usaha-usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim.

     G.      Hadits Pada Masa Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang
Periode ini disebut dengan (masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan). Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H) sampai sekarang.
Dalam periode ini usaha yang dilakukan oleh ulama adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab enam,kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab jami' yang umum.
Pada periode ini juga disusun kitab-kitab Zawa'id, yaitu kitab hadits yang disusun dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama hadits tertentu. Diantaranya kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Masa perkembangan hadits ini terbentang cukup panjang, mulai dari abad keempat Hijriyah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yaitu fase pertengahan dan fase modern.

                                                    PENUTUP

     A.      Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan hadits pada masa Nabi Muhammad SAW berlangsung selama 23 tahun. Pada masa ini Nabi Muhammad SAW.  melarang penulisan hadits dikarenakan untuk menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Al-Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’ān.
Hadits pada masa sahabat mereka masih terfokuskan kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’ān, sehingga periwayatan hadits belum begitu berkembang dan mereka masih berusaha membatasinya disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan.
Hadits pada masa sahabat kecil periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan pada masa sahabat, hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda. Pada masa ini al-Qur’ān sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga mereka sudah tidak lagi menghawatirkannya.
Hadits pada masa periode abad II Hijriyah terjadi penghimpunan hadits yang dipimpin oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Akan tetapi dalam periode ini masih belum ada pemisahan antara hadits marfu', hadits mauquf, dan hadits maqthu' dan juga belum dipisah antara hadits shahih, hasan dan dha'if.
Hadits pada masa periode awal-akhir abad III Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Munculnya periode ini karena pada tadwin sebelumnya belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqthu' dari hadits marfu', dan belum bisa memisahkan beberapa hadits yang dha'if dari yang shahih.
Hadits pada masa periode abad IV-pertengahan abad VII merupakan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan hadits. Dan yang terakhir pada masa pertengahan abad VII- sekarang merupakan masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan pembahasan hadits. 


  Daftar Pustaka

   v  Prof. Dr. muh. Zuhri, hadistnabitelaahhistoris&metodologis,Yogyakarta,tiarawacana yogya,2011

1 komentar:

  1. In this fashion my colleague Wesley Virgin's report begins in this SHOCKING AND CONTROVERSIAL video.

    You see, Wesley was in the army-and shortly after leaving-he unveiled hidden, "MIND CONTROL" tactics that the government and others used to obtain everything they want.

    As it turns out, these are the EXACT same tactics tons of famous people (especially those who "became famous out of nothing") and elite business people used to become rich and famous.

    You probably know how you utilize only 10% of your brain.

    That's because the majority of your brainpower is UNCONSCIOUS.

    Perhaps that expression has even occurred IN YOUR very own head... as it did in my good friend Wesley Virgin's head 7 years ago, while riding an unregistered, beat-up trash bucket of a vehicle without a driver's license and in his bank account.

    "I'm absolutely frustrated with going through life check to check! When will I become successful?"

    You've taken part in those types of questions, ain't it so?

    Your own success story is going to be written. All you have to do is in YOURSELF.

    CLICK HERE TO LEARN WESLEY'S METHOD

    BalasHapus

PENGERTIAN HADITS, PERBEDAAN DENGAN AL-QU’AN DAN RUANG LINGKUPNYA

  A.       Pendahuluan      Al Quran dan hadits merupakan pedoman bagi seluruh umat islam di dunia yang mengatur kehidupan mereka. “Aku ti...

TRENDING